2004-2025 “170 Kepala Daerah Terjerat Kasus Korupsi

SPIRITREVOLUSI _ Gelombang korupsi di tingkat pemerintahan daerah kembali menunjukkan wajah paling telanjangnya. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis data bahwa 167 kepala daerah terjerat korupsi sepanjang 2004 hingga 2024, tahun 2025 kembali menambah daftar itu dengan tiga kepala daerah yang tersungkur dalam operasi penindakan. Angka akumulatifnya kini melampaui 170 kepala daerah, sebuah rekor kelam dalam sejarah otonomi daerah Indonesia.
Tiga Kepala Daerah Tumbang di 2025
KPK sedikitnya telah menindak tiga pejabat tingkat daerah sepanjang awal hingga akhir 2025, yaitu:
Abdul Wahid – Gubernur Riau, ditangkap dalam operasi tangkap tangan terkait proyek di Dinas PUPR. Investigasi KPK mengungkap dugaan setoran dari kontraktor untuk mendapatkan proyek infrastruktur provinsi.
Abdul Azis – Bupati Kolaka Timur, dijerat dugaan suap terkait pengelolaan anggaran kesehatan dan proyek daerah, memperpanjang daftar kepala daerah Sulawesi Tenggara yang tersangkut kasus korupsi.
Sugiri Sancoko – Bupati Ponorogo, ditangkap atas dugaan suap jual-beli jabatan, gratifikasi proyek, serta penyimpangan dalam pengadaan RSUD. Kasus ini menguak transaksi struktural antara pejabat dan kontraktor di lingkungan Pemkab Ponorogo.
Ketiga kasus itu belum termasuk dalam statistik resmi tahunan KPK, namun keduanya mempertegas bahwa pola korupsi di daerah belum bergeser sedikit pun.
Dua Dekade, Pola Yang Sama
Sejak 2004, korupsi kepala daerah telah menjadi fenomena berulang. Modusnya hampir tidak pernah berubah:suap proyek,jual-beli jabatan,pemerasan pejabat dinas,pengaturan anggaran kesehatan dan infrastruktur.
KPK menyebut bahwa praktik tersebut banyak dipicu mahalnya biaya politik Pilkada, yang memaksa calon kepala daerah menutup “modal politik” dengan memonetisasi jabatan setelah menjabat.
Pengamat tata kelola publik menilai struktur anggaran daerah, minimnya pengawasan internal, serta budaya patronase membuat korupsi di daerah tak pernah benar-benar hilang. Bahkan dalam beberapa kasus, kepala daerah membangun “jaringan setoran” yang menghubungkan kontraktor, pejabat dinas, hingga partai politik.
Desentralisasi Tanpa Akuntabilitas
Desentralisasi yang digagas untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyat justru menghadirkan ironi. Dengan kewenangan luas mengelola anggaran dan proyek, kepala daerah memiliki “ruang gelap” yang mudah dimonetisasi jika kontrol politik dan administratif lemah.
Sejumlah laporan menunjukkan bahwa korupsi kepala daerah tidak hanya merusak birokrasi, tetapi juga mempengaruhi pembangunan daerah: proyek mangkrak, kualitas infrastruktur buruk, hingga manipulasi anggaran sektor vital seperti kesehatan. Kesaksian KPK dan laporan investigasi media menunjukkan bahwa sebagian besar proyek infrastruktur daerah mengandung commitment fee hingga 20 persen. Meski tidak semua terbukti secara hukum, pola ini muncul dalam puluhan pengungkapan kasus.
Angka Yang Tidak Pernah Turun
Pemerintah pusat mengklaim telah meningkatkan digitalisasi anggaran dan sistem pengawasan internal. Namun fakta memperlihatkan hal sebaliknya: setiap tahun, ada saja kepala daerah yang ditangkap. Bahkan jumlah totalnya kini lebih besar dibandingkan jumlah kabupaten/kota di beberapa provinsi.
Data resmi KPK menyebut 167 kepala daerah terjerat korupsi hingga 2024. Dengan tambahan tiga kasus pada 2025, jumlah itu bertambah menjadi lebih dari 170. Bila memasukkan penindakan Kejaksaan dan Polri seperti disebutkan beberapa kementerian, angkanya bahkan bisa melewati 200 kasus kepala daerah.
Arah Perbaikan Masih Gelap
Menjelang pertengahan 2025, belum ada tanda kuat bahwa pemerintah akan mereformasi sistem pendanaan politik Pilkada atau memperkuat sistem pengawasan proyek daerah secara signifikan. Tanpa perubahan struktural ini, para analis memperkirakan tren korupsi daerah akan tetap naik—hanya menunggu siapa yang menjadi tersangka berikutnya.
Satu hal kini semakin jelas: korupsi di tingkat daerah belum mati—dan barangkali tidak akan mati sampai sistem politik dan pengawasan keuangan daerah benar-benar dirombak dari akar hingga pucuk.
Opini : Redaksi




