
SPIRITREVOLUSI – Karawang _ Sikap diam RSUD Kabupaten Karawang terhadap permohonan informasi publik resmi yang diajukan PT Spirit Revolusi Media Nusantara memicu tanda tanya besar. Alih-alih memberikan jawaban sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), PPID RSUD justru memilih bungkam hingga melewati batas waktu yang jelas diatur undang-undang.
Permohonan informasi publik yang seharusnya dijawab maksimal 10 hari kerja tidak mendapatkan respons apa pun. Tidak ada jawaban, tidak ada klarifikasi, bahkan tidak ada pemberitahuan penundaan sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 22 ayat (7) UU KIP. Diamnya RSUD Karawang ini dinilai sebagai sikap tidak patuh terhadap hukum yang berlaku.
Direktur PT Spirit Revolusi Media Nusantara, Marojak Sitohang, menilai tindakan tersebut bukan hanya kelalaian administratif, tetapi indikasi kuat adanya budaya anti-transparansi di tubuh RSUD Karawang.
“Ini bukan sekadar lupa membalas surat. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap hak publik. Ketika badan publik menutup-nutupi informasi, publik wajar bertanya: apa yang sebenarnya ingin disembunyikan?” tegasnya.
Ketidakpatuhan ini mengarah pada dugaan maladministrasi karena badan publik telah menghambat hak warga negara untuk mengetahui penggunaan anggaran, aset, dan layanan publik yang dikelola dengan uang rakyat.
Lebih ironis lagi, RSUD merupakan lembaga vital yang bekerja dengan dana besar dari APBD. Keterbukaan seharusnya menjadi budaya, bukan beban. Namun sikap PPID RSUD Karawang justru memperlihatkan sebaliknya: tertutup, tidak responsif, dan mengabaikan aturan.
Pasal 35 UU KIP mengatur bahwa Pemohon Informasi berhak mengajukan keberatan jika badan publik tidak menanggapi permohonan. Spirit Revolusi pun telah mengajukan surat keberatan resmi pada 19 November 2025, menuntut Atasan PPID untuk mengambil tindakan sesuai hukum.
Jika sikap bungkam ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin sengketa informasi publik ini akan dibawa ke Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat, bahkan bisa berkembang menjadi perhatian Ombudsman RI jika terbukti terdapat maladministrasi.
Fenomena ini menunjukkan satu hal: ketika badan publik menolak transparansi, maka kontrol sosial menjadi kewajiban. Media, masyarakat, dan lembaga pengawas patut terus mengawal agar praktik tertutup tidak menjadi budaya baru di instansi pelayanan publik.
Editor : Redaksi




