NEWS

Bupati Pakpak Bharat Dinilai Cacat Memimpin Rakyat: “Suara Rakyat Dikibiri”

Transparansi Tanpa Tawar

Pakpak Bharat – Terkuak dugaan tindakan represif yang dilakukan oleh pimpinan Kabupaten Pakpak Bharat. Sorotan publik kini mengarah tajam kepada Bupati Pakpak Bharat, Frans Bernat Tumanggor, setelah sejumlah aktivis yang mengkritisi kebijakannya justru dilaporkan ke Polda Sumatera Utara atas tuduhan pencemaran nama baik.

Anehnya, laporan tersebut dibuat meski kritik yang disampaikan masyarakat tidak menyerang pribadi bupati, melainkan menyoroti kebijakan kepemimpinannya dalam mengelola daerah yang dikenal sarat dengan nilai adat dan spiritualitas etnis Pakpak. Para terlapor diketahui merupakan penggiat budaya dan tokoh masyarakat, sehingga langkah bupati tersebut memicu kemarahan para pemuda serta berbagai organisasi yang menilai bahwa suara rakyat telah dikriminalisasi di hadapan publik.

Tanggapan Terlapor

Salah satu terlapor, Z.B, menjelaskan bahwa laporan tersebut muncul setelah aksi masyarakat adat dari berbagai Suak Pakpak—lima Suak yang mewakili wilayah adat—menyampaikan tuntutan agar pemerintah daerah memberikan ketegasan terkait tapal batas Kabupaten Pakpak Bharat. Masyarakat menegaskan agar pemerintah tetap berpedoman pada falsafah Pakpak:

“Mertampuk Bulung Merbenna Sangkalen Mersidasa Uagasen.”

Namun, bukannya memberi kejelasan, bupati justru dinilai tidak memberikan sikap tegas atas persoalan batas wilayah antara Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat. Akibat sikap tersebut muncul dugaan bahwa bupati memiliki kepentingan tertentu, baik pribadi, kelompok, maupun politik.

Polemik semakin menguat ketika muncul klaim dari Hokmat Sigalingging yang menyatakan bahwa lokasi Banu Harhar merupakan hak ulayatnya. Pernyataan ini dibantah oleh warga adat lokal, bahkan diduga kuat menjadi bagian dari “setingan” yang melibatkan bupati.

Dugaan Kriminalisasi

Menguatnya dugaan keterlibatan bupati dalam polemik tersebut makin mencolok ketika ia melaporkan tokoh budaya dan masyarakat adat terkait aksi tahun 2023. Dalam laporan pengaduannya, Frans Bernat Tumanggor menyebut aksi itu telah mencemarkan nama baiknya sebagai bupati. Hal ini justru memunculkan lebih banyak pertanyaan dari masyarakat.

Pertanyaan Publik

1. Apakah bupati bersikap otoriter dan tidak siap menerima kritik maupun aspirasi rakyat yang dipimpinnya?

2. Apakah bupati benar-benar menjadi dalang di balik polemik antara Hokmat dan Sortagiri di Pakpak Bharat?

3. Apakah laporan terhadap aktivis dan tokoh masyarakat tersebut merupakan upaya membungkam kritik terkait pengelolaan anggaran rakyat di masa kepemimpinannya?

Bukan tanpa alasan, dugaan publik menguat bahwa bupati tidak mampu menampung aspirasi rakyat dan bahkan diduga takut terbongkarnya penyimpangan dalam masa kepemimpinannya, baik pada periode pertama maupun periode saat ini.

Berpotensi Melanggar Hak Masyarakat Adat

Selain itu, tindakan bupati dinilai berpotensi melanggar hak-hak masyarakat adat yang dijamin oleh undang-undang. Ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat terkesan ditutup rapat, padahal hak masyarakat adat dilindungi oleh:

UUD 1945 Pasal 28F, dan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Kasus ini kini menjadi perhatian luas, khususnya dari para pemerhati budaya, organisasi pemuda, dan masyarakat adat yang menganggap bahwa suara rakyat hendaknya menjadi pegangan utama pemimpin, bukan justru dipidanakan.

(Perwakilan Sumut)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button