NEWS

Bupati Ardito Wijaya: Ketika Jabatan Lebih Manis dari Amanah

Jakarta,  —Di panggung kekuasaan, godaan selalu datang tanpa suara — tapi manisnya sering melebihi madu yang dijanjikan rakyat.

Begitulah kisah yang kini menjerat Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, sosok muda yang semestinya menjadi wajah harapan baru, namun justru memilih menukar amanah dengan amplop tebal dan gemerincing emas batangan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggelar drama klasik negeri ini: Operasi Tangkap Tangan.

Dalam operasi pada 9 dan 10 Desember 2025, Ardito tak hanya tertangkap tangan, tapi juga tertangkap basah oleh ambisinya sendiri.

Bersama empat orang lainnya — termasuk adik kandung dan pejabat daerah — ia ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah.

Jumlah yang disita bukan sekadar angka: Rp 5,7 miliar dan beberapa batang emas.Angka yang cukup untuk membangun sekolah, memperbaiki jalan desa, atau menyediakan air bersih bagi ribuan warga.

Namun rupanya, lebih menggoda bila uang itu dipakai untuk membangun kerajaan kecil di balik meja kekuasaan.

Dalam konferensi pers KPK, kelima tersangka berdiri berjajar, mengenakan rompi oranye yang kini menjadi seragam kehinaan pejabat negeri ini.

Di belakang mereka terpampang logo KPK, seolah menjadi mahkamah moral terakhir di tengah gelapnya nurani birokrasi.Mereka menunduk, tapi bukan karena penyesalan — mungkin sekadar lelah menatap kenyataan.

Ardito sebelumnya dikenal sebagai figur muda yang dielu-elukan, seorang dokter yang naik ke kursi bupati dengan jargon “perubahan”.

Namun perubahan yang dijanjikan, ternyata hanya berganti dari jas putih ke rompi oranye.Sebuah transisi tragis dari ruang praktik kesehatan ke ruang interogasi.

Kementerian Dalam Negeri telah mengingatkan agar kasus ini menjadi pelajaran bagi kepala daerah lain.Tapi rakyat tahu, peringatan semacam itu hanyalah gema yang tenggelam di ruang-ruang rapat penuh janji palsu.

Sebab, di negeri ini, kekuasaan sering kali lebih memabukkan dari arak, dan jabatan lebih manis dari amanah.

Lampung Tengah kini kehilangan pemimpinnya — bukan karena takdir, tapi karena kerakusan.Rakyatlah yang harus menanggung akibat: proyek tertunda, pelayanan terganggu, dan kepercayaan yang kembali hancur berkeping.

Spirit Revolusi menulis ini bukan sekadar untuk mencatat satu lagi kepala daerah yang tumbang, tapi untuk mengguncang kesadaran publik.

Karena setiap bupati yang tertangkap, setiap wali kota yang ditahan, setiap pejabat yang digelandang — sejatinya adalah refleksi dari bangsa yang membiarkan kekuasaan tanpa kontrol moral.

Dan mungkin, sebelum para pejabat bersumpah di hadapan kitab suci, seharusnya mereka lebih dulu bersumpah di hadapan rakyat — agar kelak ketika kekuasaan memanggil, mereka ingat bahwa amanah bukan untuk dijual, melainkan untuk dijaga.

Redaksi

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button