Rp26,7 Miliar TPBK Tak Sesuai Aturan, Bapenda dan Tiga RSUD Kabupaten Tangerang Disorot BPK
Peraturan Bupati Dilanggar, Anggaran Publik Tergerus Kenyamanan Birokrasi

TANGERANG – Di Kabupaten Tangerang, hukum sesungguhnya telah berbicara dengan suara yang cukup lantang. Ia dituangkan dalam Peraturan Bupati Nomor 110 Tahun 2020, sebuah naskah resmi yang seharusnya menjadi kompas moral pengelolaan uang publik. Di sana tertulis terang: ASN yang bertugas di Bapenda dan RSUD hanya berhak menerima Tambahan Penghasilan Berbasis Kinerja (TPBK) sebesar 75 persen. Alasannya pun rasional—mereka telah memperoleh penghasilan lain dari insentif pajak dan jasa pelayanan. Namun seperti banyak aturan di negeri ini, kalimat hukum itu tampaknya berhenti hidup di atas kertas.
Tahun Anggaran 2024 menjadi saksi bagaimana kompas itu dipatahkan pelan-pelan. TPBK bagi ASN Bapenda dan RSUD justru dibayarkan 100 persen, penuh, utuh, tanpa rasa bersalah. Seolah 75 persen hanyalah angka dekoratif yang boleh dihapus demi kenyamanan birokrasi. Padahal di saat yang sama, insentif pemungutan pajak dan jasa pelayanan tetap mengalir, menambah berat kantong aparatur, namun mengeringkan makna keadilan anggaran.
Fakta itu tidak datang dari bisik-bisik lorong kekuasaan, melainkan dari hasil pemeriksaan resmi BPK Perwakilan Provinsi Banten. Auditor negara mencatat dengan dingin dan matematis bahwa kebijakan ini melahirkan kelebihan pembayaran TPBK sebesar Rp26,7 miliar. Sebuah angka yang terlalu besar untuk disebut kesalahan kecil, dan terlalu sistemik untuk dianggap kekhilafan sesaat.
Rinciannya menyusun puisi ironi tersendiri. Bapenda menikmati kelebihan lebih dari Rp3,9 miliar. RSUD Balaraja menyusul dengan hampir Rp7 miliar. RSUD Kabupaten Tangerang menjadi episentrum dengan Rp12,9 miliar, sementara RSUD Pakuhaji menutup barisan dengan Rp2,8 miliar. Uang publik itu seharusnya menjadi oksigen pembangunan, tetapi justru terjebak di ruang bernama pembiaran kebijakan.
Yang lebih menyakitkan, BPK menegaskan bahwa akibat praktik ini, Pemerintah Kabupaten Tangerang kehilangan kemampuan memanfaatkan anggaran untuk membiayai pembangunan yang lebih prioritas. Di saat jalan rusak menunggu aspal, puskesmas menunggu alat, dan sekolah menunggu perhatian, sebagian anggaran justru menguap dalam tambahan penghasilan yang melampaui batas aturan.
BPK tidak sekadar menunjuk angka; ia menunjuk arah tanggung jawab. TAPD dinilai lalai karena mengalokasikan anggaran tambahan penghasilan ASN tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku. Kepala BPKAD disebut mengusulkan besaran TPBK tanpa memedomani regulasi. Sementara pejabat teknis di bidang evaluasi dan anggaran menjalankan pembayaran seolah hukum adalah pilihan, bukan kewajiban.
Dalam sebuah pengakuan yang langka, Kepala BPKAD bahkan mengakui adanya kesalahan dalam penyusunan besaran TPBK. Pengakuan ini sekaligus menelanjangi fakta bahwa pelanggaran tersebut bukan kecelakaan tunggal, melainkan buah dari perencanaan yang cacat sejak awal. Kesalahan itu bukan lahir dari ketidaktahuan, melainkan dari pengabaian yang dibiarkan tumbuh.
Ironinya semakin tajam ketika diingat bahwa Pasal 27 ayat (5) Perbup 110 Tahun 2020 ditulis dengan bahasa yang tak menyisakan ruang tafsir. Tujuh puluh lima persen. Tidak lebih. Tidak kurang. Namun di ruang kebijakan, pasal itu seperti disulap menjadi ilusi. Keputusan Bupati dijadikan tameng, sementara Peraturan Bupati sendiri disingkirkan ke sudut arsip.
BPK lalu menutup laporannya dengan rekomendasi yang tegas: kelebihan pembayaran harus dikembalikan ke Kas Daerah, TAPD dan BPKAD harus dibenahi, dan pimpinan Bapenda serta RSUD diperintahkan memproses pengembalian dana. Pemerintah Kabupaten Tangerang menyatakan akan menindaklanjuti sesuai rencana aksi. Pernyataan normatif yang sering terdengar indah, namun kerap berakhir sebagai catatan kaki sejarah.
Di titik inilah publik berhak bertanya: jika aturan bisa diabaikan demi kenyamanan birokrasi, lalu siapa yang sebenarnya dilayani oleh anggaran daerah? Apakah kinerja diukur dari pelayanan kepada rakyat, atau dari seberapa mulus tambahan penghasilan mengalir ke lingkar kekuasaan?
Kasus TPBK ini bukan sekadar soal rupiah dan persentase. Ia adalah cermin retak yang memantulkan wajah pengelolaan keuangan daerah. Di dalamnya terlihat bagaimana hukum bisa ditekuk, bagaimana kebijakan bisa dipilih-pilih, dan bagaimana uang rakyat dapat berubah menjadi fasilitas bagi sistem yang lupa pada batasnya.
Dan seperti setiap cermin yang retak, ia memantulkan satu pesan sunyi namun keras: tanpa keberanian menegakkan aturan, pembangunan hanyalah slogan, dan akuntabilitas hanyalah hiasan pidato. Revolusi anggaran tidak dimulai dari jargon, tetapi dari keberanian menegur diri sendiri—dan mengembalikan apa yang bukan haknya.
KA. Perwakilan Banten : Joko



