INVESTIGASINEWS

Ahli Waris Sengketa Lahan PIK 2 Resmi Mengadukan Dugaan Perampasan Aset ke DPR RI dan Polda Banten

TANGERANG. Ironisnya, proyek besar yang seharusnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat justru menimbulkan persoalan serius di lapangan. Hal ini terutama dirasakan oleh warga pesisir utara Tangerang, mulai dari Kecamatan Teluknaga hingga kawasan Pontang, Serang.

Pelaksanaan pembebasan lahan yang semrawut diduga kuat sarat praktik kongkalikong antara pihak korporasi dengan oknum instansi setempat. Situasi ini diperparah oleh maraknya mafia tanah yang memanfaatkan kekacauan tersebut demi keuntungan pribadi. Sejumlah oknum kepala desa bahkan disinyalir berperan sebagai broker dalam proses pembebasan lahan.

Dari berbagai temuan di lapangan, wartawan Spirit Revolusi menerima sejumlah aduan masyarakat. Salah satunya datang dari keluarga besar almarhum H. Nedi, warga Desa Pangarengan, Kecamatan Rajeg. Mereka mengaku tanah empang milik keluarganya yang berada di Desa Pagedangan Ilir, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, telah dirampas secara sepihak oleh koleganya, almarhum Bpk. Suwandi, tanpa dasar hukum yang jelas. Tanah tersebut kemudian berpindah ke PT Gunung Balaraja hingga akhirnya berujung pada penguasaan oleh PT Agung Sedayu Group (ASG).

Salah satu ahli waris, Bapak Suwardi bin Nasiun, menyampaikan kepada wartawan Spirit Revolusi: “Bagaimana mungkin aset tanah empang milik kakek kami bisa diperjualbelikan tanpa sepengetahuan para ahli waris? Kami masih memegang bukti surat girik, pajak juga masih berjalan, namun fisik tanahnya sudah dikuasai PT ASG. Siapa yang menjual, dan dengan alas hak apa tanah tersebut berpindah tangan? Apakah pemerintah Desa Pagedangan Ilir tidak mengetahui? Apakah ada kemungkinan pejabat terkait bermain dan menyalahgunakan kewenangannya demi keuntungan pribadi?

Saya mewakili ahli waris H. Nedi—ibu Nasari, ibu Hindun, dan Mantera—hanya ingin tahu dasar kekuatan surat apa yang dipakai pihak almarhum H. Suwandi hingga dapat mengklaim tanah tersebut.”

Lebih jauh, Suwardi juga mengungkapkan kisah pahit yang dialami keluarganya:

 “Yang paling menyakitkan, orang tua kami, Bapak Hae (penjaga empang), bibi Hindun, dan Yani (anak dari ibu Hindun) pernah dikriminalisasi. Mereka dijemput paksa oleh polisi Polres Tigaraksa tanpa surat penangkapan, tanpa surat panggilan, tidak pernah diperiksa BAP, tetapi malah dijatuhi hukuman penjara pada tahun 1999. Peristiwa itu meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga kami.”

 

Para ahli waris mengaku telah menempuh berbagai upaya pelaporan mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga Polres, tetapi selalu menemui jalan buntu. Kini mereka melanjutkan perjuangan dengan membuat aduan ke Kemenkumham Provinsi Banten, Komisi II dan III DPR RI, serta berkonsultasi dengan Polda Banten, dengan harapan keadilan dan hukum masih dapat ditegakkan di Republik Indonesia serta berpihak kepada masyarakat kecil.

Tim Spirit Revolusi Provinsi Banten akan melakukan investigasi lebih mendalam kepada instansi-instansi terkait demi mewujudkan transparansi dan pemberitaan yang berimbang.

Tim Redaksi

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button