NEWS

KPK Bongkar Kode Gelap ‘7 Batang’: Upeti Rp7 Miliar Jadi Tiket Aman Pejabat Riau!

Transparansi Tanpa Tawar

JAKARTA- Spirit Revolusi _Jantung kekuasaan di Provinsi Riau kembali bergetar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya membuka tabir praktik upeti berjamaah yang dipimpin langsung oleh Gubernur Riau, Abdul Wahid.

Dalam sistem yang mereka sebut dengan kode “7 Batang”, para kepala dinas hingga kepala UPT diwajibkan menyetor uang agar jabatan mereka aman dari mutasi.

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, mengungkapkan bahwa skandal ini berawal dari laporan masyarakat tentang “jatah proyek” yang dipungut oleh sang gubernur melalui orang-orang kepercayaannya di Dinas PUPR-PKPP.
Dari penyelidikan, terungkap adanya kesepakatan haram: 5 persen dari nilai proyek atau sekitar Rp7 miliar, dikomunikasikan dengan kode rahasia “7 Batang.”

 “AW meminta setoran sebesar 5 persen dari proyek-proyek di lingkungan PUPR-PKPP. Komunikasi di antara mereka menggunakan istilah sandi ‘7 Batang’,” tegas Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Tiga Gelombang Setoran

KPK menelusuri sedikitnya tiga kali aliran dana dalam rentang Juni hingga November 2025.
Semua setoran dikumpulkan secara sistematis melalui pejabat bawahan—sebuah pola klasik yang menunjukkan korupsi telah menjadi budaya birokrasi yang dibangun dari atas.

Setoran Pertama (Juni 2025):
Diperintahkan langsung oleh Abdul Wahid melalui Kepala Dinas PUPR-PKPP, MAS.
Dari Rp1,6 miliar yang terkumpul, Rp1 miliar mengalir ke Wahid lewat tenaga ahlinya, DN, sementara Rp600 juta diamankan oleh MAS.

Setoran Kedua (Agustus 2025):
Kembali dikumpulkan dari para kepala UPT, menghasilkan Rp1,2 miliar.
Dana itu dipecah: Rp300 juta untuk sopir pribadi gubernur, Rp375 juta untuk “pengurusan proposal”, sisanya disimpan pihak tertentu.

Setoran Ketiga (November 2025):
Kepala UPT Wilayah III ditunjuk sebagai pengepul. Terkumpul Rp1,2 miliar, dengan Rp450 juta mengalir lewat MAS dan Rp800 juta diserahkan langsung kepada sang gubernur.

Total setoran sepanjang periode itu mencapai Rp4,05 miliar, dari target “upeti” sebesar Rp7 miliar.

Akhir Drama: Gubernur Bersembunyi di Kafe

Operasi tangkap tangan dilakukan pada 3 November 2025. Tim KPK pertama mengamankan MAS (Kadis PUPR-PKPP), FY (Sekretaris Dinas), serta lima kepala UPT — KA, EI, LH, BS, dan RA.
Dari tangan mereka, disita uang tunai Rp800 juta.

Tak lama berselang, tim KPK memburu sang gubernur yang sempat bersembunyi di sebuah kafe di Pekanbaru. Ia akhirnya diamankan bersama TM, orang kepercayaannya.

 

Operasi ini menjadi peringatan keras bagi kepala daerah seluruh Indonesia. KPK menegaskan bahwa jabatan bukanlah mesin pencetak setoran, dan kekuasaan yang disalahgunakan hanya akan berakhir dengan borgol.

“Kami ingatkan seluruh penyelenggara negara, khususnya kepala daerah, agar tidak bermain-main dengan uang rakyat,” tegas Johanis Tanak.

 

Kasus “7 Batang” bukan sekadar tindak korupsi, tapi potret feodalisme modern dalam birokrasi daerah, di mana jabatan dibeli dengan uang rakyat dan hukum dijadikan pajangan. Sebuah sistem yang hanya bisa runtuh jika rakyat berhenti takut, dan mulai berani menuntut transparansi total kekuasaan.

Tim Redaksi

Related Articles

Back to top button