
Medan | Spirit Revolusi Di negeri yang pupuknya disubsidi tapi keadilannya tidak, tiga orang terdakwa kasus korupsi pupuk bersubsidi di Kabupaten Karo akhirnya dijatuhi hukuman. Namun vonis ringan yang dijatuhkan Majelis Hakim Tipikor Medan, Kamis (30/10/2025), terasa seperti pupuk yang tak sampai ke akar: menumbuhkan harapan di atas kertas, tapi mati di ladang keadilan rakyat.
Para terdakwa itu ialah Trisakti Sinuhaji, pengecer dari CV Rata Sinuhaji, serta dua anggota tim verifikasi dan validasi (verval) penyaluran pupuk bersubsidi, Rinton Karo Sekali dan Ismayani Haloho.
Mereka dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam penyaluran pupuk bersubsidi kepada kelompok tani (poktan) di Kecamatan Merek.
Majelis hakim yang diketuai M. Nazir menjatuhkan hukuman:Trisakti Sinuhaji: 1,5 tahun penjara, denda Rp50 juta subsider 2 bulan kurungan.Rinton Karo Sekali & Ismayani Haloho: masing-masing 1 tahun penjara, denda Rp50 juta subsider 2 bulan kurungan.
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Karo, yang sebelumnya menuntut 2 tahun untuk Trisakti dan 1 tahun 3 bulan untuk dua terdakwa lainnya.
Kasus ini berawal pada tahun 2022, ketika PT Petrokimia Gresik bekerja sama dengan CV Rata Gray dan UD Rata Sinuhaji untuk menyalurkan pupuk bersubsidi.
Namun, alih-alih membantu petani, Trisakti justru membiarkan istrinya, Manjur Br Ginting, menyalurkan pupuk kepada pihak yang tidak berhak. Mereka bahkan menggunakan identitas kelompok tani fiktif di sistem e-RDKK untuk memperlancar modus tersebut.
Pupuk bersubsidi yang seharusnya menghidupkan sawah rakyat justru berpindah ke tangan-tangan spekulan. Negara pun dirugikan hingga Rp991 juta lebih.
Rinton dan Ismayani, yang bertugas memverifikasi laporan, ikut terseret karena lalai memeriksa penyaluran pupuk. Mereka menandatangani berkas tanpa memeriksa fakta di lapangan — sebuah kelalaian yang berbuah korupsi berjamaah.
Hukum Diskon di Negeri Subsidi
Spirit Revolusi menilai, vonis ringan seperti ini adalah potret buram penegakan hukum di daerah.Ketika korupsi merampas hak petani kecil, keadilan justru disubsidi dengan pengembalian uang.
Hukuman menjadi angka, bukan penebusan.Kerugian negara dihitung rupiah, tapi kerugian rakyat tak pernah tercatat.Kasus ini harusnya menjadi alarm.
Bahwa sistem e-RDKK yang dibanggakan pemerintah tak menjamin transparansi tanpa pengawasan jujur.Bahwa tim verifikasi tak lebih dari stempel jika nurani tak ikut bekerja.
Dan bahwa hukum, selama masih berpihak pada pelaku yang mampu “mengembalikan”, akan terus kehilangan wibawanya di mata rakyat.
Jangan biarkan keadilan menjadi barang subsidi.Karena ketika korupsi dibalas dengan potongan hukuman, maka negeri ini sedang memberi pupuk pada akar ketidakadilan.
Di Karo, pupuk bersubsidi hanyalah contoh kecil dari banyak “rantai bocor” yang terjadi dalam program pemerintah. Dari bahan pangan, bantuan sosial, hingga kredit usaha tani — semuanya bisa bocor di tangan mereka yang berwenang, karena hukum bisa dibeli dengan “kerjasama” dan “pengembalian”.*Red




